Patterned Text Generator at TextSpace.net


ya...ini adalah sisi gw yang mungkin...jarang yang diketahui oleh orang-orang.
Mulai dari kemaniakan gw terhadap dunia tulis-menulis.
Pemikiran-pemikiran gw...
Kesukaan-kesukaan gw akan sesuatu...
Semuanya tertuang di sini

Maka di sini akan ada dongeng-dongeng *sori kl banyak yg belum berending*
ada puisi-puisi gw...
ada celoteh gw...

just read it...
and you will see...the other side of me...

Jumat, 22 Oktober 2010

Aku bertemu denganmu di suatu siang yang panas kala aku sedang bergegas menuruni tangga batu perpustakaan. Kau menghentikan ketergesaanku karena bertanya akan sesuatu. Aku menjawab sekenenya dan kembali bergegas meninggalkanmu. Sesungguhnya, saat itu aku enggan untuk berkata-kata. Aku sedang patah hati...
Masalah orang ketiga adalah masalah klise. Sekaligus masalah paling klasik yang sering menyebabkan putusnya hubungan sepasang kekasih. Dan hari itu....aku yang mengalaminya. Dia meninggalkanku. Dan...men-ce-rai-kan-ku..
Di dalam strada hitamku, sambil ditemani alunan lembut I can't make you love me, hatiku hancur. Sedih. Nelangsa. Marah. Marah terhadapnya, marah terhadap si orang ketiga, dan terlebih...marah pada diriku sendiri. Apalah yang luput dariku selama ini...? Kurangku? Salahku? Sehingga akhirnya ia lebih memilih yang lain daripada diriku??
Masih larut dalam kesedihan dan kemarahanku, suara klakson membahana dan mengagetkanku. Sekaligus mengembalikanku ke dunia nyata. Dan??? Aku terkejut. Berteriak. Takut. Merasa bersalah. Di depanku...sebuah mobil jazz hitam yang sedang melintas menyeberang nyaris tertabrak olehku. Ya Tuhan...!!! Aku gemetaran. Segera bergegas keluar dari mobilku. Berusaha meminta maaf akan kealpaanku. 
Beberapa pengendara motor memaki.
Aku tak peduli.
Kuketuk kaca pintu mobil jazz itu.
Dari dalam mobil seseorang keluar.
Dan aku terkejut melihat sosoknya.
Itu kamu...!!
Yang bertemu denganku tadi.
Dan ia....tersenyum padaku....

***

EMPAT BULAN KEMUDIAN

Aku meneguk teh tarikku yang tinggal separuh gelas. Makan siang kali ini sungguh nikmat. Mie aceh sosis dan segelas teh tarik. Lebih nikmat lagi karena ada dirimu yang menemaniku.
"Nambah lagi?"
Aku menggeleng. "Gendut nanti," ujarku.
Dia terbahak. "Still beautiful."
Aku mendengus kesal. "Gombal!"
"Jadi...habis ini...kita kemana?" tanyanya.
Aku mengangkat bahuku. "Entah! Kamu mau kemana?"
Dia menggeleng. "Kerjaanku sudah selesai. Hari ini...aku bebas-bebas saja."
"Pacarmu?" tanyaku.
Dia menatapku. "Pacar?"
"Dua minggu tiada kabar beritanya...kupikir kau sedang berkelana mencari pacar."
Dia terbahak. 
Aku juga. Terbahak. Lega.
"Masih dua-empat. Masih panjang jalannya..." katamu.
"Aku waktu dua-empat sudah punya 'buntut'." kataku.
Dia tersenyum. "Jalan hidup seorang kan sendiri-sendiri..."
"Dan nyaris bercerai empat bulan yang lalu..." ujarku lirih.
Dia menatapku. "Kamu...bahagia?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkannya barusan.
Bahagia???
Pikiranku menerawang jauh ke sana. Apakah aku bahagia? Selama ini...dan terutama sejak kejadian yang nyaris menghancurkan keluarga mungilku....???
Satu per satu kepingan-kepingan cerita itu muncul di benakku. Dan sungguh...meskipun aku enggan untuk menyusunnya menjadi utuh....namun aku tetap menyusunnya. Keping demi keping... 

***

terlambat

ini...
akan kuberikan kepadamu
enam belas kuntum bunga edelweiss
di hari istimewamu
karna ku tahu ini bunga kesukaanmu

ini..
sedang kutulis puisi sederhana
karna ku tak pandai ungkapkan dengan lisan
apalagi menyusurn rayuan gombal
dan kutulis tepat di hari bahagiamu

kini..
dalam derasnya hujan
dengan edelweis di genggamanku
dan sebait puisi di benakku
ku hanya terpaku
melihat wajah manismu tersenyum manja
pada seseorang dengan enam belas kuntum edelweis dan puisi
yang seharusnya menjadi hadiah terindah dariku
lalu kulihat tangamu bergayut manja pada lengan kekarnya

ku terlambat...

Kamis, 14 Oktober 2010

Tak Cukup Hanya Cinta

Sisi Adrian

Aku bertemu dengannya enam bulan yang lalu. Kami sama-sama mahasiswa magister angkatan terakhir. Wajahnya yang kekanakan dan pembawaannya yang cuek sama sekali tidak mencerminkan  dirinya yang sudah berusia dua puluh empat tahun sekaligus dulu pernah menjadi mahasiswa teladan+di kampusnya ketika ia mengambil program sarjana.
Gadis manis berambut pendek itu bernama Aurora. Tetapi kami semua memanggilnyai Aya. Dan dari sekian waktu perkenalanku dengannya dan baru dua hari yang lalu aku tersadar bahwa gadis itu telah berhasil menempati sebuah ruangan dalam hatiku yang telah delapan tahun kubiarkan kosong begitu saja.
Aurora memang tidak seperti Seruni, gadisku delapan tahun yang silam. Seruni adalah gadis yang cantik dan embut. Sungguh berbeda dengan Aurora yang tomboy. Tetapi meskipun berbeda tetap saja ada sebuah kesamaan diantara kedua gadis itu. Mereka sama-sama pendengar sekaligus penasehat yang baik. Entahlah! Caranya ketika ia menasehatiku akan sesuatu hal mengingatkanku pada cara Seruni.
Seperti dua hari yang lalu di suatu sore yang basah. Sambil mengerjakan tugas aku menceritakan kejenuhanku akan pekerjaanku selama ini. Aku bimbang apa yang mesti kulakukan. Meninggalkan pekerjaan yang telah sekian tahun kugeluti atau menjalani saja emuanya meskipunaku yakin aku bakal mati bosan bila harus terus-menerus menekuni pekerjaanku itu. Tapi, entah mengapa mendengar semua pendapatnya rasanya aku  seperti ditakdirkan untuk bertemu dengan Seruni yang lain yang paling tidak selama dua tahun ini akan menjadi bagian dalam hidupku.
Aku menghela napas. Mestikah aku jatuh cinta lagi? Setelah sekian tahun aku berusaha untuk tidak terlibat dengan wanita manapun setelah cintaku yang tulus dikhianati oleh seorang gadis manis yang selama ini kudambakan untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anakku Dan kalaupun memang aku harus jatuh cinta lagi, mengapa harus pada gadis itu? Pada Aurora yang empat  bulan lagi akan melangsungkan pernikahannya?
Sore mulai beranjak senja. Azan Maghrib telah usai berkumandang. Tetapi hatiku semakin gelisah saja. Ada suatu dorongan yang kuat dari dalam diriku untuk mengungkapkan apa yang tengah kurasakan ini pada Aurora. Meskipun aku tidak yakin bahwa semua ini akan merubah keputusan Aurora. Dan meskipun aku sudah merasa begitu pesimis, tetap saja ada perasaan takut kalau cintaku ditolak olehnya.
Malam mulai menjelang. Semakin lama aku semakin tak kuasa membendung perasaan yang ada dalam hati ini. Akhirnya kuputuskan malam ini juga aku harus ke rumahnya. Akan kuungkapkan semua perasaan cintaku kepadanya tanpa mempedulikan akibatnya. Kuambi jaket jeansku. Kuraih kunci mobil  dan tak lama kemudian aku telah berada di jalanan, menuju ke  rumahnhya.

Sisi Aurora

Aku mengenal  Ian enam bulan yang lalu. Kami sama-sama mahasiswa magister angkatan terakhir. Bila dibandingkan dengan Efril-tunanganku-ia biasa-biasa saja. Wajahnya tidak istimewa. Tetapi, dari sekian lama pertemananku dengan dia, aku bisa merasakan bahwa dia adalah soulmate ku. Aku benar-benar merasa nyaman bila disampingnya.      Entah mengapa begitu. Aku sendiri tak tahu.
 Dua hari yang lalu, Ian menceritakan persoalan pribadinya padaku. Suatu hal yang amat jarang, bahkan hampir tak pernah dilakukan Efril padaku. Efril memang lebih senang memendam semua permasalahannya sendiri daripada berbagi denganku. Kembali pada cerita Ian, pada saat itu aku merasa bahwa kehadiranku itu begitu berarti baginya. Karena bukan sekali itu saja ia bercerita tentang dirinya padaku. Ia juga pernah bercerita tentang masa lalunya kepadaku. Tentang seorang gadis yang bernama Seruni yang dulu dan mungkin sampai sekarang amat dicintainya. Kadang-kadang ketika aku sedang bersama Ian, aku sering membandingkannya dengan Efril. Lalu pada akhirnya aku cuma bisa mengeluh dalam hati. Seandainya Efril seperti Ian...
Dan mungkin akibat perasaanku yang terlalu sentimentil  ini, tanpa kusadari aku telah jatuh cinta kepada Ian. Tuhan....mengapa harus kaubiarkan aku jatuh cinta kepada pria lain, keluhku dalam hati. Padahal empat bulan lagi aku akan resmi menjadi nyonya Efril, suatu+hal+yang+sudah+lama+kunanti-nantikan+selama+ini.+Tapi+dengan+hadirnya+Ian+sekarang%2C+sekaligus+perasaan+ini.... Jam+di+ruang+duduk+berdentang+delapan+kali.+Malam+ini+aku+merasa+amat+rindu+kepadanya.+Ingin+aku+menelponnya%2C+sekedar+menyapa+sekaligus+mendengar+suaranya.+Kuraih+gagang+telpon+di+atas+meja+samping+tempat+tidurku.+Ketika+hendak+kuputar+nomor+telponnya%2C+kudengar+bel+pintu+depan+berbunyi.+Kuletakkan+gagang+telpon%2C+dan+aku+bergegas+menuju+ke+ruang+depan.+Dan+ketika+kubuka+pintunya%2C+aku+tertegun.+Ada+Ian%2C+berdiri+tepat+dihadapanku.+Mendadak+lidahku+terasa+kelu+dan+aku+tak+tahu+harus+berkata+apa
 

Aurora dan Adrian
"Boleh aku masuk, Aurora ? Di luar dingin sekali," ujarnya datar.
    Aku mengangguk mempersilahkan ia masuk ke dalam.
    Lalu kami berdua cuma duduk terdiam di ruang tamu.
    "Sendirian saja, Aurora ?" tanyanya memecah keheningan.
    Aku tergagap."Eh..apa.. iya... Aya sendirian saja."
    "Efril nggak ke sini ?"
    Aku menggeleng. "Dia sedang ke Medan. Ada keperluan di sana."
    "Aurora," panggil Adrian," ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan denganmu."
    Aku menatapnya. "Tentang apa Ian ? Tentang sesuatu yang burukkah ? Ayolah Ian ! Jangan membuatku penasaran. Cepat ! Bicaralah !"cecarku.
    Adrian tersenyum. " Sabar, Nona Manis. Nah...sekarang dengarkanlah!"  Lalu lanjutnya lagi," Kamu...senang tidak berteman denganku ?"
    Cepat-cepat aku mengangguk.
    "Benar...senang ?" tanyanya lagi.
    "Iya...! Aya senang kok berteman sama Ian. Kalau tidak senang, Aya tidak bakalan membolehkan Ian masuk ke rumah. Sudah Aya usir dari tadi."
    "Lalu.... kalau kubilang....kalau...."
    "Kalau apa ?" tukasku tak sabar.
    "Kalau.... Adrian sayang Aurora .... bagaimana ?"
    Aku terdiam. Akhirnya kata-kata itu keluar juga, batinku.
    "Bagaimana Aurora ? "tanya Adrian sekali lagi.
    "Tapi.. Ian kan tahu kalau aku dan Efril..."
    "Iya.. saya tahu, Aurora. Saya tidak peduli kita jadi atau tidak. Yang saya mau adalah saya ingin tahu apakah kamu juga memendam rasa yang sama atau tidak."
    Aku menatapnya. "Aku nggak bisa jawab, Ian. Bagiku percuma saja! Tahukah kamu kalau apapun jawabanku pasti akan membuatmu sakit. Meskipun aku bilang kalau aku juga mencintaimu, tapi bagaimanapun aku tetap memilih Efril untuk selalu berada di sisiku."
    Adrian menghela napas. "Saya sudah mengira kamu akan mengatakan hal itu. Tapi saya cuma ingin tahu tentang perasaanmu yang sesungguhnya kepadaku. Itu saja !"
    "Maaf, Ian. Tapi sungguh aku tak bisa," ujarku lirih.
    Adrian menatapku. "Baiklah ! Aku tidak akan memaksa." Lalu ia melirik ke arlojinya. "Sudah malam Aurora. Rasanya tidak pantas kalau aku berlama-lama di sini. Aku pulang dulu. Sampaikan salamku pada Efril." Lalu ia meninggalkanku sendirian.
    Kututup pintu ruang depan. Masih terekam dengan jelas kejadian barusan. Aku menghela napas. Maafkan aku, Ian. Aku memang cinta kepadamu. Tapi aku tak akan pernah mengucapkan kata cinta kepada seseorang yang aku yakin aku tak akan bersamanya. Karena bagaimanapun pada akhirnya aku tetap memilih Efril sebagai pendampingku. Karena aku sadar  tak cukup hanya cinta saja untuk memiliki seseorang itu untuk selamanya.

Rabu, 13 Oktober 2010

So Close


Judul film: So Close
Produksi: 2003
Pemain: Shu Qi, Karen Mok, Zhao Wei

Gw selalu menangis tiap kali nonton film ini. This is one of my favourite movie. Ceritanya tentang sepasang kakak beradik cewe yang bekerja sebagai pembunuh bayaran. Setelah melakukan pekerjaan terakhir, si kakak memutuskan untuk berhenti menjadi seorang pembunuh bayaran karena si Kakak ingin hidup secara normal dan menikah.
Si Adik kecewa dengan keputusan si Kakak itu. And then she took the next job and did it all alone.Sayangnya, tindakan gegabah si Adik itu berakibat buruk dan akhirnya mengakibatkan kematian sang Kakak.
Sad ending.
Menyentuh.
Karena dari film ini kita jadi tau...bagaiamana kuatnya ikatan batin dan cinta antar saudara...bahkan ketika mereka sedang tidak sepaham.

Terlepas dari ceritanya yang memang oke...akting pemainnya pun tidak mengecewakan. And the best part...is the soundtrack: Close To You by Carpenter.


TRAVELERS' TALE Belok Kanan: Barcelona!



Judul: Travelers' tale Belok kanan: Barcelona!
Pengarang: Adhitya mulya, Alaya setya, Iman hidajat, Ninit yunita
Penerbit: Gagas Media
Tahun 2007

Gw bilang buku ini sangat inspiratif. Sebuah buku yang bercerita tentang empat orang sahabat sedari SD: dua cewe dan dua cowo, yang sudah saling jatuh cinta sejak dahulu kala.
Cerita dibuka dengan dikirimnya undangan pernikahan Francis kepada tiga sahabatnya. Pernikahan itu sendiri akan dilangsungkan di Barcelona. Dan ketiga sobatnya yang berasal dari penjuru yang berbeda-dengan budget yang terbatas-pergi menuju Barcelona. Hanya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah tersampaikan.

Inspiratif...!!! Di saat pada masa ini pernyataan cinta melulu terlontar dari mulut seorang pria, di novel ini para wanitanya berusaha jujur pada diri sendiri. Menyatakan rasa cintanya kepada seorang pria tapi tetap tidak terkesan murahan.
Bagian yang gw suka saat keempatnya menyadari bahwa...friends turn into lovers itu sebenernya ga mudah. Seperti keyakinan gw selama ini....apabila kita pacaran sama sahabat sendiri-lalu ktita putus-maka kita akan kehilangan dua hal penting. Pacar...dan sahabat.
Apalagi kalo cintanya bersegi-segi dan melibatkan sobat-sobat kita sendiri.

...we're all friends and yet strangers to one another...

So,,selain kisah cinta dan persahabatan yang cukup mengharu biru...novel ini juga mengajak kita menelusuri keindahan Barcelona, Budapest, Abidjan...sekaligus memberikan kita tips-tips how to be a traveller...especially backpacker. Dan perpaduan kesemua unsur itu begitu pas dan menarik untuk dinikmati , bahkan berulang kali.

Ga berlebihan kan..kalo saya bilang novel ini termasuk dalam novel yang harus dipunya??

Waiting...

Entah sudah berapa purnama terlewati
Dan ribuan senja kualami
Namun bayangmu tetap menjadi bayangan
Dan cintamu tetap menjadi khayalan
Lalu harus bagaimana
Agar bayangmu menjadi nyata
Dan cintamu dapat kurasa
Ku hanya ingin sekali
Menyandarkan relungku di bahu tegapmu
Tapi entah kapan....

Menyerah

Sudah!!
Ku tak peduli lagi
Meski katamu cinta yang kau punya besar dan tak berbatas
Meski menurutmu akulah bidadari terindahmu
Dan meski ribuan kali kau bilang hatimu utuh hanya buatku
Namun aku letih..
Karna yang indah tak sebanding dengan yang pedih
Karna meski air mata sudah mengering namun luka di hati akan selalu basah
Jadi
lewat rintik hujan pagi ini
Kutitipkan salam terakhir untukmu
Aku menyerah
Kalah...

Siapalah saya

Gw suka nulis sejak SD. Bukan tulisan semacam karya tulis gitu. Gw suka bikin cerita. Dongeng. Cerpen. Dam kalo lagi jatuh cinta...gw nulis puisi.Tapi ya cuman itu ajah. Tersimpan rapi di diary gw kala itu ato kalo sekarang di hardisk laptop n PC gw
Kadang suka banyak orang yang tau kegemaran gw ini nyaranin buat bikin buku/novel dan sejenisnya. Emang ide yang keren sih...dan sebenernya gw pengen juga. Tapi....otak pemalas gw lagi-lagi menghalangi gw untuk merealisasikan smua itu. Buat gue....diterbitin ato ga itu urusan kesekian. Yang penting gw bisa berkarya dan nulis. Itu saja.

Jadi...
kalo sekarang ada blog ini yang berisikan karya-karya gw... semata-mata karena gw cuma ingin share dengan kalian-kalian. Sukur-sukur kalo kemudian ada yg mau kasih kritik/saran/malah berniat nerbitin tulisan gw...*YIPIIIEEE*

So....what more can I say??
...just...r.e.a.d  it....

Selasa, 12 Oktober 2010

intermezzo #1

Carramel macchiato dan sekerat banana loaf menemaniku sore ini di sebuah cafe frenchise-an mahal di kota ini. Sementara hujan di luar sana masih enggan untuk mereda. Seperti biasa aku sangat menikmati momen ini. Hujan, kopi, dan hanya diriku sendiri. It's all perfect for me...

Hingga dia datang. Dia, lelaki itu, datang dengan matanya yang sayu. Menyapu sekilas ruangan kafe ini dan kemudian tertangkap raut kecewa menghiasi wajahnya. Tidak ada tempat duduk yang tersisa lagi. Lalu dengan segelas kopi di tangannya ia menghampiriku.

"Maaf, bisa saya duduk di sini?"
Aku melihatnya sekilas. Laki itu, seratus tujuh puluh senti dengan tubuh kurus, memandangku dengan tatapan mengharap. Kemeja putih nya tampak sedikit kusut. Wajahnya tampak lelah. Tapi mata sayunya....entah kenapa membuatku mengangguk dan mempersilakannya duduk di kursi depanku.

"Terima kasih," ujarnya sambil tersenyum tipis.
"Sama-sama," ucapku lirih sambil kemudian meneruskan novel The Kite Runner yang sedari tadi memikatku.

Lalu kami sama-sama tenggelam dalam dunia kami masing-masing.
Dan hanya sesekali kami saling melempar senyum taktala tanpa sengaja mata kami bertemu.
Dan hanya seperti itu....


DUA BULAN KEMUDIAN

Hujsn masih senantiasa setia mengguyur kotaku. Dan aku menyukainya. Ditemani alunan Lessons in Love nya Level 42, aku berusaha menyelesaikan pekerjaanku yang sudah tinggal sedikit lagi. Merampungkan novel ketigaku.
Ya....aku memang seorang penulis!!
Telepon genggamku bergetar. Editorku menelpon. Mengingatkan tenggat waktu yang sudah tinggal seminggu. Setelah berbincang singkat, aku segera mengakhiri pembicaraan. Sudah jam setengah tiga sore. Dan sedari pagi lambungku belum terisi karbohidrat sedikit pun.