Patterned Text Generator at TextSpace.net


ya...ini adalah sisi gw yang mungkin...jarang yang diketahui oleh orang-orang.
Mulai dari kemaniakan gw terhadap dunia tulis-menulis.
Pemikiran-pemikiran gw...
Kesukaan-kesukaan gw akan sesuatu...
Semuanya tertuang di sini

Maka di sini akan ada dongeng-dongeng *sori kl banyak yg belum berending*
ada puisi-puisi gw...
ada celoteh gw...

just read it...
and you will see...the other side of me...

Kamis, 14 Oktober 2010

Tak Cukup Hanya Cinta

Sisi Adrian

Aku bertemu dengannya enam bulan yang lalu. Kami sama-sama mahasiswa magister angkatan terakhir. Wajahnya yang kekanakan dan pembawaannya yang cuek sama sekali tidak mencerminkan  dirinya yang sudah berusia dua puluh empat tahun sekaligus dulu pernah menjadi mahasiswa teladan+di kampusnya ketika ia mengambil program sarjana.
Gadis manis berambut pendek itu bernama Aurora. Tetapi kami semua memanggilnyai Aya. Dan dari sekian waktu perkenalanku dengannya dan baru dua hari yang lalu aku tersadar bahwa gadis itu telah berhasil menempati sebuah ruangan dalam hatiku yang telah delapan tahun kubiarkan kosong begitu saja.
Aurora memang tidak seperti Seruni, gadisku delapan tahun yang silam. Seruni adalah gadis yang cantik dan embut. Sungguh berbeda dengan Aurora yang tomboy. Tetapi meskipun berbeda tetap saja ada sebuah kesamaan diantara kedua gadis itu. Mereka sama-sama pendengar sekaligus penasehat yang baik. Entahlah! Caranya ketika ia menasehatiku akan sesuatu hal mengingatkanku pada cara Seruni.
Seperti dua hari yang lalu di suatu sore yang basah. Sambil mengerjakan tugas aku menceritakan kejenuhanku akan pekerjaanku selama ini. Aku bimbang apa yang mesti kulakukan. Meninggalkan pekerjaan yang telah sekian tahun kugeluti atau menjalani saja emuanya meskipunaku yakin aku bakal mati bosan bila harus terus-menerus menekuni pekerjaanku itu. Tapi, entah mengapa mendengar semua pendapatnya rasanya aku  seperti ditakdirkan untuk bertemu dengan Seruni yang lain yang paling tidak selama dua tahun ini akan menjadi bagian dalam hidupku.
Aku menghela napas. Mestikah aku jatuh cinta lagi? Setelah sekian tahun aku berusaha untuk tidak terlibat dengan wanita manapun setelah cintaku yang tulus dikhianati oleh seorang gadis manis yang selama ini kudambakan untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anakku Dan kalaupun memang aku harus jatuh cinta lagi, mengapa harus pada gadis itu? Pada Aurora yang empat  bulan lagi akan melangsungkan pernikahannya?
Sore mulai beranjak senja. Azan Maghrib telah usai berkumandang. Tetapi hatiku semakin gelisah saja. Ada suatu dorongan yang kuat dari dalam diriku untuk mengungkapkan apa yang tengah kurasakan ini pada Aurora. Meskipun aku tidak yakin bahwa semua ini akan merubah keputusan Aurora. Dan meskipun aku sudah merasa begitu pesimis, tetap saja ada perasaan takut kalau cintaku ditolak olehnya.
Malam mulai menjelang. Semakin lama aku semakin tak kuasa membendung perasaan yang ada dalam hati ini. Akhirnya kuputuskan malam ini juga aku harus ke rumahnya. Akan kuungkapkan semua perasaan cintaku kepadanya tanpa mempedulikan akibatnya. Kuambi jaket jeansku. Kuraih kunci mobil  dan tak lama kemudian aku telah berada di jalanan, menuju ke  rumahnhya.

Sisi Aurora

Aku mengenal  Ian enam bulan yang lalu. Kami sama-sama mahasiswa magister angkatan terakhir. Bila dibandingkan dengan Efril-tunanganku-ia biasa-biasa saja. Wajahnya tidak istimewa. Tetapi, dari sekian lama pertemananku dengan dia, aku bisa merasakan bahwa dia adalah soulmate ku. Aku benar-benar merasa nyaman bila disampingnya.      Entah mengapa begitu. Aku sendiri tak tahu.
 Dua hari yang lalu, Ian menceritakan persoalan pribadinya padaku. Suatu hal yang amat jarang, bahkan hampir tak pernah dilakukan Efril padaku. Efril memang lebih senang memendam semua permasalahannya sendiri daripada berbagi denganku. Kembali pada cerita Ian, pada saat itu aku merasa bahwa kehadiranku itu begitu berarti baginya. Karena bukan sekali itu saja ia bercerita tentang dirinya padaku. Ia juga pernah bercerita tentang masa lalunya kepadaku. Tentang seorang gadis yang bernama Seruni yang dulu dan mungkin sampai sekarang amat dicintainya. Kadang-kadang ketika aku sedang bersama Ian, aku sering membandingkannya dengan Efril. Lalu pada akhirnya aku cuma bisa mengeluh dalam hati. Seandainya Efril seperti Ian...
Dan mungkin akibat perasaanku yang terlalu sentimentil  ini, tanpa kusadari aku telah jatuh cinta kepada Ian. Tuhan....mengapa harus kaubiarkan aku jatuh cinta kepada pria lain, keluhku dalam hati. Padahal empat bulan lagi aku akan resmi menjadi nyonya Efril, suatu+hal+yang+sudah+lama+kunanti-nantikan+selama+ini.+Tapi+dengan+hadirnya+Ian+sekarang%2C+sekaligus+perasaan+ini.... Jam+di+ruang+duduk+berdentang+delapan+kali.+Malam+ini+aku+merasa+amat+rindu+kepadanya.+Ingin+aku+menelponnya%2C+sekedar+menyapa+sekaligus+mendengar+suaranya.+Kuraih+gagang+telpon+di+atas+meja+samping+tempat+tidurku.+Ketika+hendak+kuputar+nomor+telponnya%2C+kudengar+bel+pintu+depan+berbunyi.+Kuletakkan+gagang+telpon%2C+dan+aku+bergegas+menuju+ke+ruang+depan.+Dan+ketika+kubuka+pintunya%2C+aku+tertegun.+Ada+Ian%2C+berdiri+tepat+dihadapanku.+Mendadak+lidahku+terasa+kelu+dan+aku+tak+tahu+harus+berkata+apa
 

Aurora dan Adrian
"Boleh aku masuk, Aurora ? Di luar dingin sekali," ujarnya datar.
    Aku mengangguk mempersilahkan ia masuk ke dalam.
    Lalu kami berdua cuma duduk terdiam di ruang tamu.
    "Sendirian saja, Aurora ?" tanyanya memecah keheningan.
    Aku tergagap."Eh..apa.. iya... Aya sendirian saja."
    "Efril nggak ke sini ?"
    Aku menggeleng. "Dia sedang ke Medan. Ada keperluan di sana."
    "Aurora," panggil Adrian," ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan denganmu."
    Aku menatapnya. "Tentang apa Ian ? Tentang sesuatu yang burukkah ? Ayolah Ian ! Jangan membuatku penasaran. Cepat ! Bicaralah !"cecarku.
    Adrian tersenyum. " Sabar, Nona Manis. Nah...sekarang dengarkanlah!"  Lalu lanjutnya lagi," Kamu...senang tidak berteman denganku ?"
    Cepat-cepat aku mengangguk.
    "Benar...senang ?" tanyanya lagi.
    "Iya...! Aya senang kok berteman sama Ian. Kalau tidak senang, Aya tidak bakalan membolehkan Ian masuk ke rumah. Sudah Aya usir dari tadi."
    "Lalu.... kalau kubilang....kalau...."
    "Kalau apa ?" tukasku tak sabar.
    "Kalau.... Adrian sayang Aurora .... bagaimana ?"
    Aku terdiam. Akhirnya kata-kata itu keluar juga, batinku.
    "Bagaimana Aurora ? "tanya Adrian sekali lagi.
    "Tapi.. Ian kan tahu kalau aku dan Efril..."
    "Iya.. saya tahu, Aurora. Saya tidak peduli kita jadi atau tidak. Yang saya mau adalah saya ingin tahu apakah kamu juga memendam rasa yang sama atau tidak."
    Aku menatapnya. "Aku nggak bisa jawab, Ian. Bagiku percuma saja! Tahukah kamu kalau apapun jawabanku pasti akan membuatmu sakit. Meskipun aku bilang kalau aku juga mencintaimu, tapi bagaimanapun aku tetap memilih Efril untuk selalu berada di sisiku."
    Adrian menghela napas. "Saya sudah mengira kamu akan mengatakan hal itu. Tapi saya cuma ingin tahu tentang perasaanmu yang sesungguhnya kepadaku. Itu saja !"
    "Maaf, Ian. Tapi sungguh aku tak bisa," ujarku lirih.
    Adrian menatapku. "Baiklah ! Aku tidak akan memaksa." Lalu ia melirik ke arlojinya. "Sudah malam Aurora. Rasanya tidak pantas kalau aku berlama-lama di sini. Aku pulang dulu. Sampaikan salamku pada Efril." Lalu ia meninggalkanku sendirian.
    Kututup pintu ruang depan. Masih terekam dengan jelas kejadian barusan. Aku menghela napas. Maafkan aku, Ian. Aku memang cinta kepadamu. Tapi aku tak akan pernah mengucapkan kata cinta kepada seseorang yang aku yakin aku tak akan bersamanya. Karena bagaimanapun pada akhirnya aku tetap memilih Efril sebagai pendampingku. Karena aku sadar  tak cukup hanya cinta saja untuk memiliki seseorang itu untuk selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar