Entah sudah berapa lama semua itu berlalu, tetapi tiap kali hujan mengguyur bumi aku selalu teringat Dia. Teringat segalanya tentang Dia.
"Ceritakan tentang Dia, Rod!" begitu kata Nath selalu, setiap kali ia melihatku termenung memandangi hujan. Nath adalah sahabat terdekatku yang selalu setia menemaniku setelah Dia tak lagi menemaniku. Seperti sore ini. Kata-kata itu meluncur dari bibir mungilnya. Aku sendiri sampai heran. Apakah Nath tidak pernah bosan mendengar cerita yang itu-itu saja tentang Dia.
Lalu seperti biasa aku bercerita. Bercerita segalanya tentang Dia.
"Dia… adalah gadis yang teramat istimewa buatku." Begitu biasanya aku memulai bercerita. Lalu sambungku lagi," Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang selalu berusaha untuk tampil memikat hati pria dengan segala tingkah laku yang dilembut-lembutkan. Dia selalu bisa menjadi dirinya sendiri. Dia tidak pernah peduli terhadap semua yang dikatakan orang tentangnya. "
Aku berhenti sejenak dan mengisap rokokku dalam-dalam. Sementara itu dari speaker compoku yang terletak di pojok kamar terdengar suara serak-serak basah Jon Bon Jovi melantunkan lagu yang kebetulan merupakan lagu kesukaan Dia.
Lanjutku lagi,"Dia memang tidak secantik gadis-gadis lain. Tapi menurutku ia cukup manis. Dia memang manja, tetapi pada saat keadaan menuntutnya untuk tidak tergantung kepada siapapun…Dia bisa."
"Di awal kencan kami, Dia bertanya hal apakah yang paling menarik hatiku di dunia ini. Dan ketika aku bilang bahwa musik, wanita, dan rokok adalah hal yang paling menyenangkan buatku, Dia cuma tersenyum tanpa berkomentar apa-apa. Senyumnya manis sekali. Lalu Dia bercerita kalau hujan merupakan hal yang paling menarik hatinya."
"Hujan itu romantis, Rod! Hujan itu sejuk. Hujan itu tangis. Hujan itu segalanya bagiku karena ia bisa menggambarkan suasana hatiku ! begitu katanya waktu itu."
Nath menatapku. "Ceritakan tentang awal pertemuan kalian, Rod!" pintanya.
Aku tersenyum. "Kamu masih belum bosan juga mendengar cerita ini ?"
Nath menggelengkan kepalanya. "Tahukah kamu, andai saja aku diberi kesempatan untuk bertemu dan berkenalan dengannya aku ingin menjadi sahabatnya."
"Benar kamu masih mau mendengar cerita ini ?" tanyaku.
Nath mengangguk.
Lalu aku kembali bercerita. "Kalau kamu tahu bagaimana awal pertemuanku dengan Dia… sungguh bukan awal pertemuan yang luar biasa. Bahkan mungkin terdengar sedikit klise." Aku terdiam sejenak membayangkan bagaimana awal pertemuanku dengan Dia. "Seperti cerita-cerita dalam novel. Seorang kakak kelas yang jatuh cinta pada adik kelasnya pada saat acara orientasi murid baru. Ketika sang adik kelas meminta tanda tangan ke kakak kelasnya itu, maka si kakak kelas memberi tanda tangannya sekaligus menanyakan nama, alamat rumah, bahkan nomor telepon rumahnya dan mengajak sang adik kelas untuk berpolonaise pada malam inaugurasi. "
"Lalu ?" tanya Nath.
"Sang adik kelas itu memberikan nama, alamat, dan nomor telepon rumahnya. Tetapi ajakan sang kakak kelas itu ditolaknya mentah-mentah. Katanya ia tidak biasa terlihat berduaan dengan lelaki yang tidak atau kurang dikenalnya."
Aku menghela napas. "Anehnya, pada saat aku mendengar tolakannya itu, aku tidak merasa sakit hati. Rasa kecewa memang ada. Tetapi aku justru merasa kagum terhadapnya. Tidak seperti gadis-gadis lain yang langsung mengiyakan ajakan kakak kelasnya… entah karena memang suka atau takut kakak kelas yang mengajaknya itu marah kalau ditolak lalu semakin memlonco mereka…"
"Sebentar, Rod!" potong Nath. "Kamu belum pernah bercerita padaku. Sebenarnya sejak kapan tepatnya kamu jatuh cinta dengan Dia ?"
"Kalau kubilang sejak ia menolak ajakanku ?"
Nath terbahak. "Sudah kuduga kamu jatuh cinta kepadanya sejak itu." Lalu katanya lagi," Terus sebenarnya sejak kapan kalian mulai resmi menjadi…"
"Aku tidak pernah mengungkapkan rasa itu, Nath," potongku. "Aku cuma menganggap bahwa ketika pertama kali kami keluar bersama, sejak saat itu Dia jadi milikku. Selain itu kupikir toh Dia juga sudah tahu isi hatiku meskipun aku tidak mengungkapkan kepadanya."
"Tapi pada akhirnya kamu marah ketika ia meninggalkanmu begitu saja."
Aku menatap Nath. "Aku marah bukan karena ia meninggalkanku begitu saja, Nath. Aku marah karena ia meninggalkanku pada saat ia masih mencintaiku."
"Memangnya dari mana kamu tahu kalau ia mencintaimu ? Atau setidaknya pernah mencintaimu ? Kau kan tidak pernah berbicara kepadanya tentang perasaanmu. Dan aku yakin Dia bukan tipe gadis yang mau mengungkapkan isi hatinya kepada pria sebelum pria itu mengungkapkan isi hatinya terlebih dulu," sergah Nath.
"Pokoknya aku tahu !" ujarku.
Lalu aku dan Nath sama-sama terdiam. Sementara itu hujan belum juga reda, malahan bertambah deras. Seolah-olah hujan itu dikirimkan Dia untukku agar aku mengingatnya selalu.
"Aku rindu Dia, Nath !" kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.
"Cari dia Rod, kalau kamu memang masih mencintainya."
Aku menggeleng lemah. "Tak mungkin, Nath. Tak mungkin. Dia menghilang begitu saja. Sama seperti hujan yang tiba-tiba reda lalu berhenti sama sekali setelah turun dengan derasnya. Aku tak tahu harus mencari Dia kemana."
Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, pembicaraan tentang Dia terhenti begitu saja. Seolah-olah bagi Nath tak ada lagi yang perlu ditanyakan, dan bagiku tak ada lagi yang perlu diceritakan.
Sementara itu, pada belahan bumi yang lain, di tengah-tengah ingar bingarnya suara musik dan kepulan asap-asap rokok, seorang wanita sedang asyik bercerita kepada seorang pria yang tengah menemaninya.
"Tahukah kamu ?Ruangan dengan suara musik seperti ini dan kepulan asap-asap rokok serta wanita-wanita cantik yang tengah berseliweran seperti ini mengingatkanku akan seorang pria. Seorang pria yang pernah kucintai tetapi terlalu sombong untuk mengungkapkan perasaannya kepadaku. Sehingga memaksaku untuk meninggalkannya meskipun sebenarnya aku masih teramat mencintainya."
Pria di samping wanita itu merengkuh bahu sang wanita. "Aku tak akan seperti pria itu, Sayang. Aku mencintaimu. Aku ingin menikahimu. Bagaimana kalau bulan depan kita menikah ?"
Wanita itu mengangguk setuju. Meskipun ia tidak terlalu mencintai pria itu. Tetapi bagaimanapun ia harus menikah dengan pria itu. Wanita itu mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit. Ia tengah hamil lima bulan.
"Ceritakan tentang Dia, Rod!" begitu kata Nath selalu, setiap kali ia melihatku termenung memandangi hujan. Nath adalah sahabat terdekatku yang selalu setia menemaniku setelah Dia tak lagi menemaniku. Seperti sore ini. Kata-kata itu meluncur dari bibir mungilnya. Aku sendiri sampai heran. Apakah Nath tidak pernah bosan mendengar cerita yang itu-itu saja tentang Dia.
Lalu seperti biasa aku bercerita. Bercerita segalanya tentang Dia.
"Dia… adalah gadis yang teramat istimewa buatku." Begitu biasanya aku memulai bercerita. Lalu sambungku lagi," Dia tidak seperti gadis-gadis lain yang selalu berusaha untuk tampil memikat hati pria dengan segala tingkah laku yang dilembut-lembutkan. Dia selalu bisa menjadi dirinya sendiri. Dia tidak pernah peduli terhadap semua yang dikatakan orang tentangnya. "
Aku berhenti sejenak dan mengisap rokokku dalam-dalam. Sementara itu dari speaker compoku yang terletak di pojok kamar terdengar suara serak-serak basah Jon Bon Jovi melantunkan lagu yang kebetulan merupakan lagu kesukaan Dia.
Lanjutku lagi,"Dia memang tidak secantik gadis-gadis lain. Tapi menurutku ia cukup manis. Dia memang manja, tetapi pada saat keadaan menuntutnya untuk tidak tergantung kepada siapapun…Dia bisa."
"Di awal kencan kami, Dia bertanya hal apakah yang paling menarik hatiku di dunia ini. Dan ketika aku bilang bahwa musik, wanita, dan rokok adalah hal yang paling menyenangkan buatku, Dia cuma tersenyum tanpa berkomentar apa-apa. Senyumnya manis sekali. Lalu Dia bercerita kalau hujan merupakan hal yang paling menarik hatinya."
"Hujan itu romantis, Rod! Hujan itu sejuk. Hujan itu tangis. Hujan itu segalanya bagiku karena ia bisa menggambarkan suasana hatiku ! begitu katanya waktu itu."
Nath menatapku. "Ceritakan tentang awal pertemuan kalian, Rod!" pintanya.
Aku tersenyum. "Kamu masih belum bosan juga mendengar cerita ini ?"
Nath menggelengkan kepalanya. "Tahukah kamu, andai saja aku diberi kesempatan untuk bertemu dan berkenalan dengannya aku ingin menjadi sahabatnya."
"Benar kamu masih mau mendengar cerita ini ?" tanyaku.
Nath mengangguk.
Lalu aku kembali bercerita. "Kalau kamu tahu bagaimana awal pertemuanku dengan Dia… sungguh bukan awal pertemuan yang luar biasa. Bahkan mungkin terdengar sedikit klise." Aku terdiam sejenak membayangkan bagaimana awal pertemuanku dengan Dia. "Seperti cerita-cerita dalam novel. Seorang kakak kelas yang jatuh cinta pada adik kelasnya pada saat acara orientasi murid baru. Ketika sang adik kelas meminta tanda tangan ke kakak kelasnya itu, maka si kakak kelas memberi tanda tangannya sekaligus menanyakan nama, alamat rumah, bahkan nomor telepon rumahnya dan mengajak sang adik kelas untuk berpolonaise pada malam inaugurasi. "
"Lalu ?" tanya Nath.
"Sang adik kelas itu memberikan nama, alamat, dan nomor telepon rumahnya. Tetapi ajakan sang kakak kelas itu ditolaknya mentah-mentah. Katanya ia tidak biasa terlihat berduaan dengan lelaki yang tidak atau kurang dikenalnya."
Aku menghela napas. "Anehnya, pada saat aku mendengar tolakannya itu, aku tidak merasa sakit hati. Rasa kecewa memang ada. Tetapi aku justru merasa kagum terhadapnya. Tidak seperti gadis-gadis lain yang langsung mengiyakan ajakan kakak kelasnya… entah karena memang suka atau takut kakak kelas yang mengajaknya itu marah kalau ditolak lalu semakin memlonco mereka…"
"Sebentar, Rod!" potong Nath. "Kamu belum pernah bercerita padaku. Sebenarnya sejak kapan tepatnya kamu jatuh cinta dengan Dia ?"
"Kalau kubilang sejak ia menolak ajakanku ?"
Nath terbahak. "Sudah kuduga kamu jatuh cinta kepadanya sejak itu." Lalu katanya lagi," Terus sebenarnya sejak kapan kalian mulai resmi menjadi…"
"Aku tidak pernah mengungkapkan rasa itu, Nath," potongku. "Aku cuma menganggap bahwa ketika pertama kali kami keluar bersama, sejak saat itu Dia jadi milikku. Selain itu kupikir toh Dia juga sudah tahu isi hatiku meskipun aku tidak mengungkapkan kepadanya."
"Tapi pada akhirnya kamu marah ketika ia meninggalkanmu begitu saja."
Aku menatap Nath. "Aku marah bukan karena ia meninggalkanku begitu saja, Nath. Aku marah karena ia meninggalkanku pada saat ia masih mencintaiku."
"Memangnya dari mana kamu tahu kalau ia mencintaimu ? Atau setidaknya pernah mencintaimu ? Kau kan tidak pernah berbicara kepadanya tentang perasaanmu. Dan aku yakin Dia bukan tipe gadis yang mau mengungkapkan isi hatinya kepada pria sebelum pria itu mengungkapkan isi hatinya terlebih dulu," sergah Nath.
"Pokoknya aku tahu !" ujarku.
Lalu aku dan Nath sama-sama terdiam. Sementara itu hujan belum juga reda, malahan bertambah deras. Seolah-olah hujan itu dikirimkan Dia untukku agar aku mengingatnya selalu.
"Aku rindu Dia, Nath !" kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku.
"Cari dia Rod, kalau kamu memang masih mencintainya."
Aku menggeleng lemah. "Tak mungkin, Nath. Tak mungkin. Dia menghilang begitu saja. Sama seperti hujan yang tiba-tiba reda lalu berhenti sama sekali setelah turun dengan derasnya. Aku tak tahu harus mencari Dia kemana."
Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, pembicaraan tentang Dia terhenti begitu saja. Seolah-olah bagi Nath tak ada lagi yang perlu ditanyakan, dan bagiku tak ada lagi yang perlu diceritakan.
Sementara itu, pada belahan bumi yang lain, di tengah-tengah ingar bingarnya suara musik dan kepulan asap-asap rokok, seorang wanita sedang asyik bercerita kepada seorang pria yang tengah menemaninya.
"Tahukah kamu ?Ruangan dengan suara musik seperti ini dan kepulan asap-asap rokok serta wanita-wanita cantik yang tengah berseliweran seperti ini mengingatkanku akan seorang pria. Seorang pria yang pernah kucintai tetapi terlalu sombong untuk mengungkapkan perasaannya kepadaku. Sehingga memaksaku untuk meninggalkannya meskipun sebenarnya aku masih teramat mencintainya."
Pria di samping wanita itu merengkuh bahu sang wanita. "Aku tak akan seperti pria itu, Sayang. Aku mencintaimu. Aku ingin menikahimu. Bagaimana kalau bulan depan kita menikah ?"
Wanita itu mengangguk setuju. Meskipun ia tidak terlalu mencintai pria itu. Tetapi bagaimanapun ia harus menikah dengan pria itu. Wanita itu mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit. Ia tengah hamil lima bulan.
0 komentar:
Posting Komentar