Patterned Text Generator at TextSpace.net


ya...ini adalah sisi gw yang mungkin...jarang yang diketahui oleh orang-orang.
Mulai dari kemaniakan gw terhadap dunia tulis-menulis.
Pemikiran-pemikiran gw...
Kesukaan-kesukaan gw akan sesuatu...
Semuanya tertuang di sini

Maka di sini akan ada dongeng-dongeng *sori kl banyak yg belum berending*
ada puisi-puisi gw...
ada celoteh gw...

just read it...
and you will see...the other side of me...

Kamis, 24 Maret 2011

Mimpi

Setiap orang pasti pernah bermimpi. Entah mimpi yang baik...ataupun mimpi yang buruk. Terkadang seseorang pun selalu hidup dalam dunia mimpinya...
Bagi gw, mimpi itu penting!!!
Karna dengan mimpi gw akan selalu punya alasan untuk melakukan segala sesuatunya lebih baik setiap harinya. Gw bekerja...karena gw punya mimpi bisa mencukupi segala kebutuhan keluarga gw. Gw selalu berusaha menjadi ibu yg baik...karna gw punya mimpi anak-anak gw kelak akan menjadi manusia yang baik yang salah satunya akan berhasil jika dididik baik oleh orang tuanya.

Tapi....jika kurang hati-hati, segala mimpi positif kamu justru akan membuat mu jadi melakukan hal-hal yang buruk. Kamu punya mimpi. Punya duit banyak. Bisa jalan-jalan ke tempat yang kamu suka. Tapi akhirnya, kamu lebih memilih jalan pintas yang tidak baik untuk memenuhi segala impian kamu.
Dan jangan sampai mimpimu membuat mu menjadi seseorang yang tidak berpijak pada hal yang nyata. You just can't live in a dream.

Jadi....teruslah bermimpi. Karna apabila kita tidak pernah bermimpi, kita tidak akan pernah bisa maju. Hanya saja....jadikanlah mimpi mu itu menjadi suatu alasan untuk selalu berbuat yang terbaik setiap harinya.

Sabtu, 12 Maret 2011

Serpihan Masa Lalu (part 5)


Baju, toiletries, charger…DONE! Novel dan iPod sudah berada di dalam tas. Fiuh….akhirnya selesai juga packingnya. Gue merebahkan diri ke atas kasur. Sementara Reza sedang asyik dengan Macnya.
“Huff…ngantuknya!”
Reza menatap gue. “Pesawat jam berapa sih?”
Gue menarik selimut. “Jam tujuh take off.”
Reza mematikan Macnya dan ikutan menyusup ke bawah selimut. “Aku masih ada sim card Singapur yang masih aktif. Pake saja. Ada di laci nakas sebelahmu.”
Gue meraih laci nakas lalu mengambil kotak bening berisi sim card.
Reza mematikan lampu. “Jangan lupa besok bangunin aku ya. Biar aku yang anter kamu ke bandara.”
Gue mengangguk. “Udah kupasang kok alarmnya.”
Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus Reza.
Gue menghela napas.
Selalu begitu.
Reza memang perhatian. Tapi perhatian dengan caranya sendiri. Datar. Tanpa gejolak. Dan sejujurnya…..semua itu sangat membosankan!!
Gue ngerti bahwa percuma saja mengharapkan spontanitas dari Reza. Reza is the most organize people I’ve ever met. Tidur dan bangun tepat waktu. Melakukan segala rutinitas sesuai jadwal. Dan…sesungguhnya ini yang bikin gue salut sama dia, selalu pulang kantor tepat waktu dan menghabiskan sisa harinya untuk total bersama keluarga. Dia memang tipe family man. Okey….memang terkadang dia melewatkan malam bersama teman-temannya, hang out di suatu tempat, tapi itupun jarang sekali dilakukan.
Gue masih ingat dulu alasan gue kenapa dulu mau menikah dengannya. Bahwa gue yakin dia bisa memberikan rasa aman dan settle buat gue. Tapi nyatanya itu semua malah jadi bumerang bagi gue.
            I miss the adrenalin…
            Dan setelah sepuluh tahun….gue bener-bener sakaw dengan itu!!
            Gue hanya berharap….jalan-jalan gue kali ini bisa memenuhi ke-sakaw-an itu, sehingga ketika gue balik nanti, gue bisa akan lebih tenang menghadapi segala rutinitas hidup termasuk ketidakspontanan Reza.
            Karena sesungguhnya gue juga tidak mau melepaskan pernikahan ini…
            Tapi…sungguh…gue butuh pegangan untuk tetap hidup dan waras dalam pernikahan ini.
            Gue menguap. Rasa kantuk yang amat sangat mulai menyerang. Dan ga sampai semenit gue sudah terlelap…



            Gue sedang berdiri di tengah-tengah orang yang sedang bergegas mengejar waktu. Di tengah-tengah stasiun Dhoby Gaut, gue berdiri, sambil memandangi MRT map di iPhone. Bingung. Hendak jalan ke mana dulu.
            Ini sudah jam dua belas siang waktu Singapur. Perut gue lapar minta diisi. Gue tergoda dengan setangkup es potong di pinggir Orchard. Atau di emperan Boat Quay. Jadi….gue terjebak di pilihan antara Orchard dan Boat Quay.
            “Why don’t we just take the MRT to Boat Quay? I love spending time there..” ga sengaja gue denger percakapan dua orang ekspat yang lewat di samping gue.
            Hmmm….Boat Quay?? Keping-keping suasana Boat Quay sudah terbayang di benak gue. Jadi destinasi selanjutnya….????
            Gue segera menuju jalur North South Line. Menunggu kereta menuju Marina Bay. Masih dua menit lagi. Gue menyalakan iPod gue. Ada Heaven Knowsnya Rick Price mengalun lembut. Sekejap gue terkesiap.
            Heaven Knows??
            Gue merasa tidak memasukkan lagu tersebut ke playlist iPod gue.
            Tapi…
            Gue teringat undangan merah marun.
            Gue teringat lima belas tahun yang lalu.
            Gue…mendadak gue jadi deg-degan.
            Dan rasa rindu itu….mendadak menyelinap.
            Lamunan gue terhenti ketika suara rebut kereta datang.
            Orang bergegas berkerumun di dekat pintu kereta.

Cepat-cepat gue masuk ke dalam begitu orang-orang dari dalam kereta sudah tidak ada lagi yang hendak keluar.
            Gue duduk.
            Kereta berjalan.
            Tepat sebelum gue memasuki kegelapan terowongan kereta….gue melihat sebuah sosok.
            Sekali lagi gue cuma bisa terkesiap.
            Terpaku.
            Kelu.
            Sepertinya…gue melihat sosok yang amat sangat gue kenal.
            Sosok itu….
            ….adalah seorang Weis!


 *****


            Tau film Serendipity?? Itu adalah film favorit gue. Film yang berkisah tentang takdir. Selalu ada alasan untuk sebuah kejadian. Dan mungkin, itu pula yang akan gue dapat sehubungan dengan kejadian yang bener-bener biking gue shock siang ini.
            Duduk di tepi Singapore River sambil melihat manusia lalu-lalang. Gue belum empat jam menghirup udara Singapur. But I already get too much…  Es potong rasa coklat sudah beberapa menit yang lalu masuk ke dalam lambung gue. Tapi mengapa dinginnya es potong itu tidak juga mendinginkan hati dan pikiran gue?
            Duh!!! Berhentilah bermimpi! Berhentilah bermain-main dengan pikiran-pikiran gila itu. Karena, meskipun belum tentu yang terlihat tadi adalah dirinya, gue sudah ga punya hak lagi untuk bermain-main dengan pikiran romantis gue akan dirinya dengan gue. Gue sudah menikah. Dia sebentar lagi menikah. End of the story, Everybody is happy. Dan itu yang sudah selayaknya terjadi.
            Gue meneguk air mineral yang tinggal setengah botol. Tak jauh dari tempat gue duduk, sepasang muda-mudi sedang memadu kasih. Dan di sisi yang berbeda segerombolan backpackers sedang asyik melepas lelah. Gue berusaha mengalihkan pikiran-pikiran gila gue dengan berusaha menikmati dan mengamati apa yang ada di sekitar gue.
            Tapi ternyata itu semua tidak berhasil.
            Dan lagi-lagi…gue memunguti serpihan-serpihan masa lalu gue dan menyusunnya keping demi keping…

Rabu, 09 Maret 2011

when a girl fall in love....


Dikala hati resah
Seribu ragu datang memaksaku
Rindu semakin menyerang
Kalaulah ku dapat membaca pikiranmu
Dengan sayap pengharapanku ingin terbang jauh

Biar awanpun gelisah
Daun daun jatuh berguguran
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya...

Biar awanpun gelisah
Daun daun jatuh berguguran,,
Namun cintamu kasih terbit laksana bintang
Yang bersinar cerah menerangi jiwaku

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Rasa cinta yang tulus dari dasar lubuk hatiku Oh...

Tuhan jalinkanlah cinta
Bersama selamanya...

Andaikan ku dapat mengungkapkan perasaanku
Hingga membuat kau percaya
Akan ku berikan seutuhnya rasa cintaku
Selamanya selamanya...


Lagu ini....gw suka banget. Muncul pertama yang nyanyiin Yana Julio, pas gw baru jadi anak kuliahan. Entah kenapa kata-katanya mengena banget. Waktu itu...gw lagi naksir seseorang. Cakep. Keren. Jago basket. Jago main musik. Huhuhuhu.... Sayangnya dia ga tau kalo gw ada dan gw...tentu aja ga berani 'unjuk gigi' ke dia.
Yup..rata-rata cewe #entah kalo cewe-cewe abege sekarang ya...# seperti itu. Suka sama seorang cowo. Tapi cuma bisa dipendam di hati. Bagaimana mungkin? Di budaya kita, cewe nyatain ke cowo tuh masih rada tabu. Bahkan kadang si cowo suka menganggap bagian 'nyatain cinta' adalah kerjaannya cowo. Si cewe tinggal bilang 'iya' apa 'engga'. 
Nah...tapi kalo si cowo nya oon dan ga ngeh kalo si cewe suka gimana dong??
Namanya juga cewe. Kalo dia suka sama cowo pasti dia kasih-kasih sinyal lah. Rajin telpon. Rajin ym an. Rajin sms. Kadar perhatiannya jadi lebih dibanding dulu. Kadang suka nyela abis cowo itu. Ya...cuma itu yang bisa dilakukan. Intinya...dengan cara seperti itu dia pengen bilang...ini..gw ada hati sama elu.
Bersyukur banget kalo si cowo tanggap dan.....membalas rasa yang si cewe punya. Tinggal menunggu waktu yang pas buat jadian...dan..resmi deh jadi sepasang kekasih. Teorinya sih gitu.
Tapi, kalo si cowo ga ngeh juga, ato ngeh tapi dia sendiri ga yakin dengan perasaan si cewe...gimana dong??
Hahaha.....untungnya gw belum pernah kejadian sama cowo yang kayak gini. Tapi beberapa temen gw...mereka pernah ngalamin. Kalo udah gitu, mereka suka minta bantuan orang ketiga buat mendekatkan mereka berdua.
Dan..gue cukup sering jadi orang ketiga itu.... 

So...buat para cowo nih... plissss deeehhh....sedikit membuka kepekaan diri, ya... Siapa tau sebenernya cewe yang sering jalan sama kamu, yang sering curhat sama kamu, yang sering ym an sama kamu....sebenernya punya sesuatu rasa buat kamu. Kasian kan...kalo mereka udah susah payah kasih sinyal tapi kalian ga peka juga..

Wkwkwkwkw.......yukkk...sekarang kita dengerin lagunya sama-sama.....

To be something...penting gitu??

Everybody want to be something. At their school, at their community...they always want to be something in their territory, becoming a 'Queen Bee', having the power...

Yup...seperti di novel-novel, di film-film seri, di sinetron-sinetron, bahkan di dunia nyata sekali pun. Di sekolah, di kampus, di lingkungan wali murid....setiap orang ingin menjadi sesuatu. Sebuah cerita klise namun nyata dan banyak terjadi. Seseorang yang menjadi mayoritas di suatu kelompok biasanya ingin berkuasa. Punya pengikut yang loyal, ditakuti dan disegani oleh anggota kelompok lainnya. It seems they enjoy to be untouchable.
Seperti Blair Waldorf atau Serena Van Der Woodsen dalam Gossip Girl. Mereka kaya, punya uang, kekuasaan, punya tampang......but not sure they have excellent brain...
Di SMA gw dulu untungnya ga ada yang seperti ini. Tapi di beberapa sekolah temen gw yang lain...yang model-model kayak gini banyak banget. Kaum 'kemilau nan sombong dan semena-mena' itu benar-benar ada dan menindas. 

To be something...semata-mata adalah bukti eksistensi diri. Bahwa mereka ada. Dan setiap orang harus menganggap penting keberadaanya. The saddest thing is.....they actually nothing. Bahwa sebenarnya ga ada yang bisa dibanggakan dari keberadaannya itu.  

IMHO, mestikah membuktikan eksistensi diri harus dengan cara seperti itu?? Harus dengan menjadikan orang lain sebagai korban?? Don't you get it...being minority is really hard...so much harder than you ever thought?? Karena sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan demi membuktikan eksistensi diri. Berprestasi. Atau jadilah seseorang yang menyenangkan. Loveable. Itu...cukup!!\
Lagipula.....gw pikir... that evil Queen bee....sebenarnya adalah seseorang yang sakaw akan perhatian. Karena mereka tidak mendapatkannya dari orang-orang yang seharusnya menyayangi dan memperhatikan mereka....

Selasa, 08 Maret 2011

Heaven Knows



This is officially has became my broken heart theme song. Ya...rasanya dulu...sekitar 17 tahun yang lalu, sakiiittt banget kalo dengerin lagu ini. Lagu ini selalu mengingatkan gw pada sosok yang sama. Si "Heaven Knows'. Tapi nyatanya setelah tahun berganti, gw justru denger lagu ini beberapa bulan yang lalu. Bukan di suatu tempat yang romantis...tapi entah...sekarang kalo gw denger lagu ini, gw jadi teringat akan kenangan beberapa bulan yang lalu...

Selasa, 01 Maret 2011

Serpihan Masa Lalu (part 4)


            “Sudah dikirim semuanya kan?”
            Aku mengangguk. Lila – calon istriku – tersenyum. Wajahnya tampak sumringah. “Aku sudah nggak sabar lagi menunggu hari indah itu,” bisiknya di telinga kananku.
            Aku berdehem. Mengambil sebuah majalah otomotif yang tergeletak di meja. Berlagak membaca.
            “Sayang, ada sesuatu yang salah? Sepertinya kamu kurang antusias dengan pembicaraan ini.”
            Aku terpaksa menghentikan kegiatan mebacaku. Tersenyum. “Ga ada yang salah, kok! Aku juga sudah nggak sabar menunggu..ehm…hari H…”
            Lia tersenyum. “Oya, bagaimana dengan trip ke Singapur mu itu? Kapan berangkat? Berapa lama?”
            Aku meletakkan majalah di atas meja. Lalu memandangnya. “Bulan depan. Lima hari di sana. Dari tanggal dua puluh sampai tanggal dua puluh lima. Kenapa? Mau nitip sesuatu?”
            Lia menggeleng. “Cuma pingin kamu cepet pulang dengan selamat aja,” bisiknya manja.
            Aku tersenyum. Aku melirik ke arlojiku. Sudah hampir jam satu. Lunch hari ini mesti segera diakhiri. Satu jam lagi ada meeting dengan bos besar. Dan aku…belum nyiapin apa-apa.
            “Balik, yuk! Aku harus meeting nih,” kataku.
            Lia mengangguk. Aku diturunin di Sutos aja. Ada yang harus kubeli di situ.”
            Aku segera member kode pada si waitress untuk membawakan bill. Setelah membayar lalu kami segera pergi. Menembus panasnya siang hari di Surabaya.


            “Duh..yang mau jadi penganteeen….hari gini masih manyun aja!” suara cempreng Nindy, teman sebelah cubicle membangunkanku dari lamunan siang hariku.
            “Woi…kerja!! Jangan ngintip aja!”
            Nindy terbahak. “Kenapa? Kemarin kena santet ya waktu ketemu sama bos besar? Dari tadi pagi kuperhatiin kamu manyun aja.”
            Aku tersenyum. “Sini, Nin! Ke cubicle ku sini, gih!”
            Ga sampai dua detik Nindy sudah berdiri manis di sebelahku.
            “Ada apaan, sih?” tanyanya ingin tahu.
            Aku menghela napas. Diam sejenak. “Aku dapat firasat kurang enak,” ujarku perlahan.
            Nindy menaikkan alisnya. “Firasat? Firasat kayak gimana?”
            Aku menggeleng. “Entah! Tentang kepergianku besok.”
            “Ke Singapur?” Lalu Nindy terbahak. “Firasat kamu bakalan heboh belanja terus duit mu habis semua. Paling itu. Apalagi?”
            Aku menatapnya kesal. “Ah, kalau itu sih….ga bakalah, lah! Sejak kapan aku kalap belanja. Kalau kamu…iya!”
            Nindy masih terbahak. “Habisnya….kamu pake bilang hal yang aneh-aneh segala. Emang firasat apa sih? Kecelakaan? Mau mati? Kehilangan pacar? Mau ketemu pacar lama?”
            Aku menatapnya. “Ulangi perkataanmu yang terakhir tadi, Nin!”
            Nindy menatapku heran. “Yang mana? Yang mau mati?”
            Aku menatapnya geram. “Bukaaaann!!! Ngapain sih ngomongin mati-mati segala. Ituuuu…yang paling akhir tadi!!!! “
            Nindy terdiam sesaat. Mencoba mengingat-ingat. “Uhhmmm… yang….. Aihhh!!! Ketemu pacar lama??” Entah mengapa volume suaranya jadi mengeras.
            “Ssssssssstt!! Jangan keras-keras, dong! Nanti kalau Si Nenek Gosip itu denger matilah diriku!” kataku sambil melirik ke cubicle seberang, tempat Si Nenek Gosip itu berada.
            Nindy terbahak. “Alina?? Aduuhhh!!!! Tuh…liat…kupingnya lagi disumpel sama earphone. Mana denger dia pembicaraan kita. Jangan lebay deh, Wis!!”
            “Oya? Masa sih? Hmm…amanlah kalau begitu.”
            “Jadi…balik ke firasatmu yang aneh itu, darimana kamu tahu kalau kamu bakalan ketemu pacar lama di Singapur?”
            Aku menggeleng. “Aku belum tau, Nin. Tapi….tadi pagi…perasaan itu datang aja…pas aku berangkat ke sini.”
            “Memangnya….perasaan kayak gimana?”
            Aku menghela napas. Memejamkan mata sejenak. Dan…
            “Tiba-tiba saja aku ingat dia.”
            Nindy melongo mendengar jawabanku. Tapi, sedetik kemudian, ia terbahak. “Buseeett….kamu itu lucu banget sih, Wis! Eh..Wis…kamu itu udah kepala tiga. Masa jalan pikirannya masih kayak anak abege aja. Kalo tiba-tiba keingat mantan sih….wajar saja, lah! Wong dia itu kan pernah jadi seseorang yang istimewa dalam hidup kita. Lah…jadi kalo menurutku sih, ya ga apa-apa lah…kalo tiba-tiba saja kamu ingat dia. Aku juga suka gitu kok! Nah…tapi tetep aja ga pernah ketemuan lagi sama mantan-mantanku.”
            “Serius…itu bukan pertanda, Nin?”
            Nindi tertawa. “Ya bukanlah!!! Ah…hal remeh gitu aja dipikirin. Atau jangan-jangan…kamu masih cinta ya sama dia?”
            Aku terkejut mendengar perkataan Nindy. “Cinta?”
            Nindy menghela napas. “Iya…siapa tahu kamu sebenernya masih sayag sama dia.”
            Aku termenung. Cinta? Sayang? Hmm…masa sih??
            Nindy menepuk pelan bahuku. “Balik dulu ke singgasanaku, ya! Masih ada setumpuk tugas yang belum kuselesaiin. Ga usah mikirin yang aneh-aneh, deh! Lia itu udah baik banget.”
            Aku mengangguk. “Thanks. Nin!”
            “Ur welcome!


            Aku sedang melahal lontong balap sambil sesekali meneguk air es. Fiuuhh!!! Minggu siang di Surabaya yang panas, menikmati lontong balap super pedes bikinan Lia, benar-benar membuat hari Mingguku sempurna. Sementara itu, si koki malah sibuk ngetawain aku yang lagi kepedesan.
            “Pedes ya?? Salah siapa  tadi minta dibanyakin cabenya?”
            Aku masih megap-megap. Entah sudah habis berapa gelas air es yang kuteguk. Tapi pedesnya ga mau ilang-ilang juga.
            “Nih..!”Lia megulurkan air putih hangat. “Baca di majalah, kalau kepedesan lebih baik minum air putih hangat. Biar rasa pedesnya cepat hilang”
            Aku segera meneguk air putih hangat itu. Dan, betul!! Rasa pedasnya berangsur hilang.
            “Waahh…makasih ya, Li!! Sudah ngga berasa pedes lagi.”
            Lia tersenyum.
            “Sebelum ke Singapur kita mesti fitting baju loh, Mas!” katanya mengingatkanku.
            Aku mengangguk. “Sudah beres semua kan persiapannya?”
            Lia mengangguk. “Delapan puluh persen, lah! Kata Mba Dewi, semuanya sudah fix.”
            “Baguslah. Besok kalau si Nindy mau nikah, biar dia pakai EO nya Mba Dewi.”
            Lia menatapku. “Nindy mau nikah? Sama Bagas? Kapan?”
            Aku tertawa. “Sepertinya bulan depan mereka mau lamaran.”
            “Oya?? Wah…ngga nyangka. Kukira…Bagas itu bakalan jadi pelabuhan sementaranya si Nindy.”
            Aku terkekeh. “Ya….jodoh kan di tangan Tuhan, Li. Lagipula Nindy umurnya juga sudah diujung kepala dua. Sudah saatnya dia berpikir serius tentang hidupnya.”
            Lia mengangguk. “Kadang aku cemburu sama Nindy.”
            Aku terkejut. Menatapnya heran. “Kenapa? Aku kan berteman saja sama Nindy.”
            Lia menghela napas. “Entahlah! Aku juga tidak tahu.”
            Aku merengkuh Lia. Dan membelai-belai rambutnya. “Sudahlah! Ngapain cemburu? Toh kita sebentar lagi juga menikah. Aku menikahimu. Kalau aku tidak sayang dan cinta sama kamu, mana mungkin aku mau menikah sama kamu. Iya kan?”
            Lia tersenyum. “Iya ya, Mas! Aku…cuma takut saja kehilangan kamu.”
            “Ah, ga usah dipikirin. Kita jalani saja apa yang ada di genggaman kita. Besok Kamis, bantuin aku packing ya. Hari Jumat aku sudah berangkat.”
            Lia mengangguk. “Mau anterin aku beli sesuatu nggak?” tanyanya.
            “Di mana?”
            “Mau dulu apa nggak?”
            “Jangan ke mal deh…”
            Lia merengut. “Padahal aku pingin ke mal!”
            Aku tertawa. “Iya! Ganti baju dulu sana. Habis itu kita jalan.”
            Lia tersenyum. Lalu segera beranjak ke dalam.
            Aku menghela napas.
            Tiba-tiba saja rasa kangen itu menyelinap. Kangen…dengan….Fey!!