“Sudah dikirim semuanya kan?”
Aku mengangguk. Lila – calon istriku – tersenyum. Wajahnya tampak sumringah. “Aku sudah nggak sabar lagi menunggu hari indah itu,” bisiknya di telinga kananku.
Aku berdehem. Mengambil sebuah majalah otomotif yang tergeletak di meja. Berlagak membaca.
“Sayang, ada sesuatu yang salah? Sepertinya kamu kurang antusias dengan pembicaraan ini.”
Aku terpaksa menghentikan kegiatan mebacaku. Tersenyum. “Ga ada yang salah, kok! Aku juga sudah nggak sabar menunggu..ehm…hari H…”
Lia tersenyum. “Oya, bagaimana dengan trip ke Singapur mu itu? Kapan berangkat? Berapa lama?”
Aku meletakkan majalah di atas meja. Lalu memandangnya. “Bulan depan. Lima hari di sana. Dari tanggal dua puluh sampai tanggal dua puluh lima. Kenapa? Mau nitip sesuatu?”
Lia menggeleng. “Cuma pingin kamu cepet pulang dengan selamat aja,” bisiknya manja.
Aku tersenyum. Aku melirik ke arlojiku. Sudah hampir jam satu. Lunch hari ini mesti segera diakhiri. Satu jam lagi ada meeting dengan bos besar. Dan aku…belum nyiapin apa-apa.
“Balik, yuk! Aku harus meeting nih,” kataku.
Lia mengangguk. Aku diturunin di Sutos aja. Ada yang harus kubeli di situ.”
Aku segera member kode pada si waitress untuk membawakan bill. Setelah membayar lalu kami segera pergi. Menembus panasnya siang hari di Surabaya.
“Duh..yang mau jadi penganteeen….hari gini masih manyun aja!” suara cempreng Nindy, teman sebelah cubicle membangunkanku dari lamunan siang hariku.
“Woi…kerja!! Jangan ngintip aja!”
Nindy terbahak. “Kenapa? Kemarin kena santet ya waktu ketemu sama bos besar? Dari tadi pagi kuperhatiin kamu manyun aja.”
Aku tersenyum. “Sini, Nin! Ke cubicle ku sini, gih!”
Ga sampai dua detik Nindy sudah berdiri manis di sebelahku.
“Ada apaan, sih?” tanyanya ingin tahu.
Aku menghela napas. Diam sejenak. “Aku dapat firasat kurang enak,” ujarku perlahan.
Nindy menaikkan alisnya. “Firasat? Firasat kayak gimana?”
Aku menggeleng. “Entah! Tentang kepergianku besok.”
“Ke Singapur?” Lalu Nindy terbahak. “Firasat kamu bakalan heboh belanja terus duit mu habis semua. Paling itu. Apalagi?”
Aku menatapnya kesal. “Ah, kalau itu sih….ga bakalah, lah! Sejak kapan aku kalap belanja. Kalau kamu…iya!”
Nindy masih terbahak. “Habisnya….kamu pake bilang hal yang aneh-aneh segala. Emang firasat apa sih? Kecelakaan? Mau mati? Kehilangan pacar? Mau ketemu pacar lama?”
Aku menatapnya. “Ulangi perkataanmu yang terakhir tadi, Nin!”
Nindy menatapku heran. “Yang mana? Yang mau mati?”
Aku menatapnya geram. “Bukaaaann!!! Ngapain sih ngomongin mati-mati segala. Ituuuu…yang paling akhir tadi!!!! “
Nindy terdiam sesaat. Mencoba mengingat-ingat. “Uhhmmm… yang….. Aihhh!!! Ketemu pacar lama??” Entah mengapa volume suaranya jadi mengeras.
“Ssssssssstt!! Jangan keras-keras, dong! Nanti kalau Si Nenek Gosip itu denger matilah diriku!” kataku sambil melirik ke cubicle seberang, tempat Si Nenek Gosip itu berada.
Nindy terbahak. “Alina?? Aduuhhh!!!! Tuh…liat…kupingnya lagi disumpel sama earphone. Mana denger dia pembicaraan kita. Jangan lebay deh, Wis!!”
“Oya? Masa sih? Hmm…amanlah kalau begitu.”
“Jadi…balik ke firasatmu yang aneh itu, darimana kamu tahu kalau kamu bakalan ketemu pacar lama di Singapur?”
Aku menggeleng. “Aku belum tau, Nin. Tapi….tadi pagi…perasaan itu datang aja…pas aku berangkat ke sini.”
“Memangnya….perasaan kayak gimana?”
Aku menghela napas. Memejamkan mata sejenak. Dan…
“Tiba-tiba saja aku ingat dia.”
Nindy melongo mendengar jawabanku. Tapi, sedetik kemudian, ia terbahak. “Buseeett….kamu itu lucu banget sih, Wis! Eh..Wis…kamu itu udah kepala tiga. Masa jalan pikirannya masih kayak anak abege aja. Kalo tiba-tiba keingat mantan sih….wajar saja, lah! Wong dia itu kan pernah jadi seseorang yang istimewa dalam hidup kita. Lah…jadi kalo menurutku sih, ya ga apa-apa lah…kalo tiba-tiba saja kamu ingat dia. Aku juga suka gitu kok! Nah…tapi tetep aja ga pernah ketemuan lagi sama mantan-mantanku.”
“Serius…itu bukan pertanda, Nin?”
Nindi tertawa. “Ya bukanlah!!! Ah…hal remeh gitu aja dipikirin. Atau jangan-jangan…kamu masih cinta ya sama dia?”
Aku terkejut mendengar perkataan Nindy. “Cinta?”
Nindy menghela napas. “Iya…siapa tahu kamu sebenernya masih sayag sama dia.”
Aku termenung. Cinta? Sayang? Hmm…masa sih??
Nindy menepuk pelan bahuku. “Balik dulu ke singgasanaku, ya! Masih ada setumpuk tugas yang belum kuselesaiin. Ga usah mikirin yang aneh-aneh, deh! Lia itu udah baik banget.”
Aku mengangguk. “Thanks. Nin!”
“Ur welcome!”
Aku sedang melahal lontong balap sambil sesekali meneguk air es. Fiuuhh!!! Minggu siang di Surabaya yang panas, menikmati lontong balap super pedes bikinan Lia, benar-benar membuat hari Mingguku sempurna. Sementara itu, si koki malah sibuk ngetawain aku yang lagi kepedesan.
“Pedes ya?? Salah siapa tadi minta dibanyakin cabenya?”
Aku masih megap-megap. Entah sudah habis berapa gelas air es yang kuteguk. Tapi pedesnya ga mau ilang-ilang juga.
“Nih..!”Lia megulurkan air putih hangat. “Baca di majalah, kalau kepedesan lebih baik minum air putih hangat. Biar rasa pedesnya cepat hilang”
Aku segera meneguk air putih hangat itu. Dan, betul!! Rasa pedasnya berangsur hilang.
“Waahh…makasih ya, Li!! Sudah ngga berasa pedes lagi.”
Lia tersenyum.
“Sebelum ke Singapur kita mesti fitting baju loh, Mas!” katanya mengingatkanku.
Aku mengangguk. “Sudah beres semua kan persiapannya?”
Lia mengangguk. “Delapan puluh persen, lah! Kata Mba Dewi, semuanya sudah fix.”
“Baguslah. Besok kalau si Nindy mau nikah, biar dia pakai EO nya Mba Dewi.”
Lia menatapku. “Nindy mau nikah? Sama Bagas? Kapan?”
Aku tertawa. “Sepertinya bulan depan mereka mau lamaran.”
“Oya?? Wah…ngga nyangka. Kukira…Bagas itu bakalan jadi pelabuhan sementaranya si Nindy.”
Aku terkekeh. “Ya….jodoh kan di tangan Tuhan, Li. Lagipula Nindy umurnya juga sudah diujung kepala dua. Sudah saatnya dia berpikir serius tentang hidupnya.”
Lia mengangguk. “Kadang aku cemburu sama Nindy.”
Aku terkejut. Menatapnya heran. “Kenapa? Aku kan berteman saja sama Nindy.”
Lia menghela napas. “Entahlah! Aku juga tidak tahu.”
Aku merengkuh Lia. Dan membelai-belai rambutnya. “Sudahlah! Ngapain cemburu? Toh kita sebentar lagi juga menikah. Aku menikahimu. Kalau aku tidak sayang dan cinta sama kamu, mana mungkin aku mau menikah sama kamu. Iya kan?”
Lia tersenyum. “Iya ya, Mas! Aku…cuma takut saja kehilangan kamu.”
“Ah, ga usah dipikirin. Kita jalani saja apa yang ada di genggaman kita. Besok Kamis, bantuin aku packing ya. Hari Jumat aku sudah berangkat.”
Lia mengangguk. “Mau anterin aku beli sesuatu nggak?” tanyanya.
“Di mana?”
“Mau dulu apa nggak?”
“Jangan ke mal deh…”
Lia merengut. “Padahal aku pingin ke mal!”
Aku tertawa. “Iya! Ganti baju dulu sana. Habis itu kita jalan.”
Lia tersenyum. Lalu segera beranjak ke dalam.
Aku menghela napas.
Tiba-tiba saja rasa kangen itu menyelinap. Kangen…dengan….Fey!!
0 komentar:
Posting Komentar