Patterned Text Generator at TextSpace.net


ya...ini adalah sisi gw yang mungkin...jarang yang diketahui oleh orang-orang.
Mulai dari kemaniakan gw terhadap dunia tulis-menulis.
Pemikiran-pemikiran gw...
Kesukaan-kesukaan gw akan sesuatu...
Semuanya tertuang di sini

Maka di sini akan ada dongeng-dongeng *sori kl banyak yg belum berending*
ada puisi-puisi gw...
ada celoteh gw...

just read it...
and you will see...the other side of me...

Sabtu, 12 Maret 2011

Serpihan Masa Lalu (part 5)


Baju, toiletries, charger…DONE! Novel dan iPod sudah berada di dalam tas. Fiuh….akhirnya selesai juga packingnya. Gue merebahkan diri ke atas kasur. Sementara Reza sedang asyik dengan Macnya.
“Huff…ngantuknya!”
Reza menatap gue. “Pesawat jam berapa sih?”
Gue menarik selimut. “Jam tujuh take off.”
Reza mematikan Macnya dan ikutan menyusup ke bawah selimut. “Aku masih ada sim card Singapur yang masih aktif. Pake saja. Ada di laci nakas sebelahmu.”
Gue meraih laci nakas lalu mengambil kotak bening berisi sim card.
Reza mematikan lampu. “Jangan lupa besok bangunin aku ya. Biar aku yang anter kamu ke bandara.”
Gue mengangguk. “Udah kupasang kok alarmnya.”
Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus Reza.
Gue menghela napas.
Selalu begitu.
Reza memang perhatian. Tapi perhatian dengan caranya sendiri. Datar. Tanpa gejolak. Dan sejujurnya…..semua itu sangat membosankan!!
Gue ngerti bahwa percuma saja mengharapkan spontanitas dari Reza. Reza is the most organize people I’ve ever met. Tidur dan bangun tepat waktu. Melakukan segala rutinitas sesuai jadwal. Dan…sesungguhnya ini yang bikin gue salut sama dia, selalu pulang kantor tepat waktu dan menghabiskan sisa harinya untuk total bersama keluarga. Dia memang tipe family man. Okey….memang terkadang dia melewatkan malam bersama teman-temannya, hang out di suatu tempat, tapi itupun jarang sekali dilakukan.
Gue masih ingat dulu alasan gue kenapa dulu mau menikah dengannya. Bahwa gue yakin dia bisa memberikan rasa aman dan settle buat gue. Tapi nyatanya itu semua malah jadi bumerang bagi gue.
            I miss the adrenalin…
            Dan setelah sepuluh tahun….gue bener-bener sakaw dengan itu!!
            Gue hanya berharap….jalan-jalan gue kali ini bisa memenuhi ke-sakaw-an itu, sehingga ketika gue balik nanti, gue bisa akan lebih tenang menghadapi segala rutinitas hidup termasuk ketidakspontanan Reza.
            Karena sesungguhnya gue juga tidak mau melepaskan pernikahan ini…
            Tapi…sungguh…gue butuh pegangan untuk tetap hidup dan waras dalam pernikahan ini.
            Gue menguap. Rasa kantuk yang amat sangat mulai menyerang. Dan ga sampai semenit gue sudah terlelap…



            Gue sedang berdiri di tengah-tengah orang yang sedang bergegas mengejar waktu. Di tengah-tengah stasiun Dhoby Gaut, gue berdiri, sambil memandangi MRT map di iPhone. Bingung. Hendak jalan ke mana dulu.
            Ini sudah jam dua belas siang waktu Singapur. Perut gue lapar minta diisi. Gue tergoda dengan setangkup es potong di pinggir Orchard. Atau di emperan Boat Quay. Jadi….gue terjebak di pilihan antara Orchard dan Boat Quay.
            “Why don’t we just take the MRT to Boat Quay? I love spending time there..” ga sengaja gue denger percakapan dua orang ekspat yang lewat di samping gue.
            Hmmm….Boat Quay?? Keping-keping suasana Boat Quay sudah terbayang di benak gue. Jadi destinasi selanjutnya….????
            Gue segera menuju jalur North South Line. Menunggu kereta menuju Marina Bay. Masih dua menit lagi. Gue menyalakan iPod gue. Ada Heaven Knowsnya Rick Price mengalun lembut. Sekejap gue terkesiap.
            Heaven Knows??
            Gue merasa tidak memasukkan lagu tersebut ke playlist iPod gue.
            Tapi…
            Gue teringat undangan merah marun.
            Gue teringat lima belas tahun yang lalu.
            Gue…mendadak gue jadi deg-degan.
            Dan rasa rindu itu….mendadak menyelinap.
            Lamunan gue terhenti ketika suara rebut kereta datang.
            Orang bergegas berkerumun di dekat pintu kereta.

Cepat-cepat gue masuk ke dalam begitu orang-orang dari dalam kereta sudah tidak ada lagi yang hendak keluar.
            Gue duduk.
            Kereta berjalan.
            Tepat sebelum gue memasuki kegelapan terowongan kereta….gue melihat sebuah sosok.
            Sekali lagi gue cuma bisa terkesiap.
            Terpaku.
            Kelu.
            Sepertinya…gue melihat sosok yang amat sangat gue kenal.
            Sosok itu….
            ….adalah seorang Weis!


 *****


            Tau film Serendipity?? Itu adalah film favorit gue. Film yang berkisah tentang takdir. Selalu ada alasan untuk sebuah kejadian. Dan mungkin, itu pula yang akan gue dapat sehubungan dengan kejadian yang bener-bener biking gue shock siang ini.
            Duduk di tepi Singapore River sambil melihat manusia lalu-lalang. Gue belum empat jam menghirup udara Singapur. But I already get too much…  Es potong rasa coklat sudah beberapa menit yang lalu masuk ke dalam lambung gue. Tapi mengapa dinginnya es potong itu tidak juga mendinginkan hati dan pikiran gue?
            Duh!!! Berhentilah bermimpi! Berhentilah bermain-main dengan pikiran-pikiran gila itu. Karena, meskipun belum tentu yang terlihat tadi adalah dirinya, gue sudah ga punya hak lagi untuk bermain-main dengan pikiran romantis gue akan dirinya dengan gue. Gue sudah menikah. Dia sebentar lagi menikah. End of the story, Everybody is happy. Dan itu yang sudah selayaknya terjadi.
            Gue meneguk air mineral yang tinggal setengah botol. Tak jauh dari tempat gue duduk, sepasang muda-mudi sedang memadu kasih. Dan di sisi yang berbeda segerombolan backpackers sedang asyik melepas lelah. Gue berusaha mengalihkan pikiran-pikiran gila gue dengan berusaha menikmati dan mengamati apa yang ada di sekitar gue.
            Tapi ternyata itu semua tidak berhasil.
            Dan lagi-lagi…gue memunguti serpihan-serpihan masa lalu gue dan menyusunnya keping demi keping…

0 komentar:

Posting Komentar